![]() |
Kupang – Penasehat Hukum eks Kapolres Ngada, Nikolas Ke Lomi, SH keberatan dan pertanyakan atas pernyataan Dr. Mikhael Feka, SH., MH yang mengomentari kasus eks Kapolres Ngada dan pendapat ahli Deddy Manafe, SH., MH yang dihadirkan terdakwa eks Kapolres Ngada pada persidangan di Pengadilan Negeri Kupang, Senin (15/9/2025).
Nikolas Ke Lomi mengatakan Dr. Mikhael Feka, SH., MH melekat pada dirinya sebagai advokat. Sebagai advokat, Dr. Mikhael Feka terikat dengan Kode Etik Advokat yang secara tegas melarang memberikan komentar terhadap perkara yang sedang ditangani rekan advokat lain, hal itu untuk menjaga martabat profesi advokat.
”Kita akan mengambil langkah hukum mengadukan hal ini ke Dewan Kehormatan Profesi Advokat, tidak bisa dibiarkan”, tegas Nikolas Ke Lomi kepada media, Rabu (17/9/2025) di Kupang.
Kenapa Dr. Mikhael Feka, SH., MH tidak hadir atau minta hadir sebagai ahli pembanding di Persidangan dalam perkara ini, kenapa harus memberikan komentar yang menunjuk langsung terdakwa dan minta dihukum, apa maksudnya?, tanya Niko.
Hal senada disampaikan rekan advokat Andi Alamsyah, SH. Sebagai akademisi hukum, agar menyampaikan pendapat yang bersifat normatif dan abstrak sebagai bentuk edukasi hukum, bukan menunjuk langsung terdakwa atau perkara yang masih aktif berjalan di pengadilan.
”Ketika seorang dosen hukum yang juga berprofesi sebagai advokat masuk terlalu jauh dalam memberi komentar terhadap kasus yang masih aktif berjalan di Pengadilan, batas antara edukasi publik dan intervensi opini publik menjadi kabur. Hal ini bukan hanya berpotensi merugikan kredibilitas pribadi, tetapi juga mencederai martabat profesi advokat dan akademisi hukum itu sendiri. Etika akademik dipertanyakan. Mikhael Feka selain sebagai dosen, pada dirinya melekat sebagai advokat Peradi”, tandas Andi Alamsyah, advokat muda Peradi asal Reo, Manggarai ini.
Lanjut Andi, cara menyampaikan pendapat dengan menyebut langsung terdakwa dan perkara yang masih aktif berjalan di Pengadilan, itu tidak etis. Sebagai seorang advokat, dilarang memberikan komentar terhadap perkara yang sedang ditangani rekan advokat lain.
”Kalau kepengin jadi ahli dalam perkara ini, kenapa tidak minta ke Jaksa Penuntut Umum untuk jadi ahli dipersidangan, biar tarungnya di Pengadilan. Jangan sok pintar tapi mengabaikan etika”, jelas Andi.
Andi menambahkan, Deddy Manafe mewakili Fakultas Hukum Undana Kupang dihadirkan terdakwa eks Kapolres Ngada sebagai ahli meringankan dalam persidangan.
Pernyataan Deddy Manafe itu keterangan resmi yang disampaikan dalam ruang sidang. Yang berwenang menilai pendapat ahli itu Majelis Hakim, bukan pihak lain. Majelis Hakim berwenang menilai teori, asas, norma, hasil riset atau penelitian dan pendapat ahli yang disampaikan dalam ruang sidang, tegas Andi, alumni Fakaltas Hukum Undana ini.
”Dalam konteks sebagai advokat, Dr. Mikhael Feka perlu belajar lagi etika profesi, ada batas etika. Juga sebagai akademisi, apalagi sampai menyebut nama pelaku dalam pernyataan dimedia. Kita pertanyakan etika akademik Dr. Mikhael Feka, SH., MH itu”, ungkap Andi.
"Kita akan mengambil langkah hukum termasuk mengadukan ke Dewan Kehormatan Profesi Advokat", tegas Andi.
”Demi menjaga martabat profesi hukum dan integritas peradilan, organisasi advokat dan kampus yang menaungi Mikhael Feka perlu menilai hal ini. Teguran etik bukanlah bentuk pelemahan, melainkan penguatan agar advokat dan akademisi hukum tetap berdiri sebagai pilar kebenaran yang berwibawa di mata masyarakat”, jelas Andi.
Sebelumnya Mikael Feka mengatakan, eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, termasuk telribat dalam prostitusi anak, mesti tetap dihukum. "Tindakannya tetap dihukum," kata Mikhael Feka. Menurut Mikael Feka, ada beberapa dasar hukum yang bisa digunakan untuk menjerat Fajar Lukman, jelas Mikhael, dilansir Pos Kupang (15/9/2025). (Tim***)